Konflik Balinuraga Lampung Selatan
Posted by Unknown on 08.26
BAB I
PROLOG
Baru-baru
ini, bangsa ini kembali menagis oleh peristiwa yang memiriskan hati. Dimana
dalam peristiwa tersebut dalam serta merta menguatkan sebuah tesis tentang
keteruraian bangsa Indonesia sebagai sebuah Negara bangsa.Bahkan yang lebih
memilukan dari peristiwa tersebut adalah konflik yang terjadi awalnya disulut
oleh sebuah persoalan yang sangat sepele.Meskipun harus juga disadari bahwa
peristiwa tersebut adalah “luka lama” yang kembali terkuak akibat peristiwa
tersebut.Dalam liputan berbagai media mengenai peristiwa tersebut,disebutkan
bahwa awal mula kejadian tarsebut hanyalah peristiwa senggol menyenggol anak
muda ketika berkendaraan yang berujung pada sebuah tauran massal antara
penduduk local dan penduduk transmigrasi yang berasal dari bali.
Namun
sebelum melihat lebih jauh konflik tersebut ada baiknya melihat kebelakang awal
mula dari “luka lama” yang merugikan bangsa indonesia sebagai sebuah Negara
yang berbeda tetapi satu.
Dalam
catatan sejarah bahwa awal dari konflik tersebut yang kemudian memendam sebuah
dendam adalah diawali pada peristiwa awal tahun 1990-an.Peristiwa yang mempersoalkan
lahan perkebunan tersebut merupakan sebuah pemicu lama yang menunjukan
ketimpangan sosial dan ekonomi diwilayah tersebut yang sampai sekarang menjadi
sebuah catatan hitam atas keradaan Balinuraga didaerah Lampung Selatan ini.
BAB II
MELIHAT KONFLIK DALAM KERANGKA
TEORI
Sosiolog
Dahrendorf (1976) melihat konflik pada dasarnya memiliki dua makna. Pertama,
konflik adalah konsekuensi atau akibat dari tidak tuntasnya proses integrasi di
dalam suatu masyarakat. Dalam konteks kegagalan integrasi seperti ini, konflik
menjadi sebuah gejala penyakit (syndrom) yang dapat merusak persatuan dan
kesatuan suatu masyarakat dalam sebuah bangsa. Kedua, konflik dapat pula
dipahami sebagai sebuah proses alamiah dalam rangka proyek rekonstruksi sosial.
Dalam konteks ini konflik dilihat secara “fungsional” sebagai suatu strategi
untuk menghilangkan unsurunsur disintegratif di dalam masyarakat yang tidak
terintegrasi secara sempurna. Konflik dalam perspektif ini diyakini sebagai
sebuah media yang bila terselesaikan dengan baik, justru akan memperkuat proses
integrasi dalam masyarakat.
Melalui
teori dari Dahrendorf dapat dipelajari bahwa konflik dapat dilihat dari dua
kacamata berbeda yaitu antara positif dan negatif, pesimisme dan optimisme. Konflik
sebagai sebuah kegagalan integrasi atau konflik sebagai sebuah mekanisme yang
harus dilalui masyarakat dalam sebuah bangsa untuk menyempurnakan proses
integrasi anggota-anggotanya. Menurut penulis, konflik-konflik yang terjadi di
Indonesia, baik yang mengusung isu etnis, agama, ekonomi, dan lain-lain,
merupakan sebuah sarana pembelajaran bagi pihak-pihak yang berkonflik, termasuk
bagi pemerintah dan aktoraktor perdamaian lainnya. Bila konflik dapat ditangani
dengan baik, maka upaya merajut kembali sebuah bingkai keragaman yang indah,
menjadi sesuatu yang tak utopis lagi.
Upaya
memahami konflik secara non-konvensional telah dilakukan Edward Azar (1990)
dengan memperkenalkan konsep konflik sosial berkesinambugan (protracted social
conflict-PSC) yaitu konflik yang melibatkan kelompok-kelompok komunal yang
saling memperjuangkan kebutuhan dasar (basic needs) seperti keamanan, pengakuan
identitas, penerimaan eksistensi, akses terhadap lembaga politik dan
partisipasi ekonomi. Menurut Azar ada sekurangnya empat variabel di dalam
berbagai PSC. Pertama, communal content and discontent yaitu sikap puas atau
tidak puas kelompok identitas tertentu terhadap realitas sosial dan politik
yang ada. Berbagai kelompok identitas yang ada di dalam masyarakat; kelompok
etnis, religius, kekerabatan, pada saat tertentu dapat merasakan bahwa kondisi
sosial dan politik yang ada sesuai dengan apa yang mereka harapkan tetapi pada
saat lain kelompok-kelompok tersebut dapat merasa kecewa atau bahkan frustasi
terhadap situasi yang mereka anggap mengganggu eksistensi dan melecehkan
identitas mereka. Dalam situasi penuh kekecewaan dan frustasi inilah konflik
sosial berkesinambungan dapat terjadi. Upaya untuk meredam konflik tersebut
dapat dilakukan jika masyarakat saling mengakui identitas kelompok
masingmasing, baik kelompok mayoritas maupun minoritas. Selain itu perlu dibuka
akses terhadap dialog antar kelompok identitas dan proses sosialisasi identitas
masing-masing kelompok hingga ke tingkat akar rumput atau lapisan paling bawah
(grassroots) untuk meredam intensitas konflik yang disebabkan oleh communal
discontent ini.
Kedua,
deprivation atau degradasi sosial, yaitu pengingkaran terhadap
kebutuhan-kebutuhan sosial kelompok-kelompok identitas yang ada. Keluhan yang
muncul akibat degradasi sosial seringkali diekspresikan secara kolektif.
Kegagalan penguasa untuk merespon secara proporsional keluhankeluhan tersebut
dapat memicu terjadinya sebuah konflik sosial berkesinambungan. Konflik dapat
memburuk jika penguasa memperlakukan berbagai kelompok identitas secara
berbeda, termasuk dalam hal pendistribusian sumber-sumber ekonomi. Apa yang
dipersoalkan oleh kelompok yang mengalami deprivasi bukan sekadar kepentingan
(interest) tetapi kebutuhan (needs). Berbeda dengan kepentingan yang biasanya dapat
dinegosiasikan, kebutuhan biasanya menyangkut hal-hal ontologis yang tidak
dapat ditawar sehingga konflik yang didorong oleh kebutuhan biasanya mudah
berkembang menjadi pertikaian yang mengerikan dan cenderung tidak rasional.
Kebutuhan dalam konteks ini meliputi kebutuhan untuk berkembang, kebutuhan
untuk merasa aman, kebutuhan untuk hidup layak, kebutuhan untuk mendapat akses
ekonomi-politik dan kebutuhan untuk mempertahankan identitas seperti etnis,
budaya, agama, adat istiadat, dan seterusnya. Bahwa konflik menyangkut tidak
terpenuhinya basic needs, mengisyaratkan kepada kita bahwa persoalan kemiskinan
ternyata ikut berperan dalam menciptakan konflik. Pembangunan ekonomi yang
bermasalah justru dapat meningkatkan frustrasi sosial yang dapat mendorong berbagai
pihak memulai konflik dengan pihak lain. Pembangunan dan proses modernisasi di
negara berkembang berpotensi menjadi sebuah proses pembentukan kekerasan
(violent-generating process).
Ketiga,
the quality of governance atau kualitas administratif lembaga pemerintah.
Kapabilitas Negara dalam mengkombinasikan penggunaan kekerasan, perangkat
hukum, kekuasaan, legitimasi, dan sistem birokrasi dalam mengatur masyarakat,
melindungi warga negara, menyediakan kebutuhan material, sangat penting dalam
upaya memberikan kepuasan bagi berbagai kelompok identitas yang ada. Kebanyakan
negara-negara yang dilanda konflik sosial berkesinambungan, memiliki ciri-ciri
antara lain; diperintah oleh seorang penguasa militer yang tidak mempedulikan
kebutuhan masyarakat lapisan bawah, tidak kompeten dalam merespon keinginan
dari kelompok-kelompok identitas yang ada, terlalu rentan terhadap pertikaian
antarelit sehingga menciptakan keresahan dan ketidakpuasan rakyat. Pemerintah
dengan kualitas administratif rendah cenderung menciptakan krisis legitimasi
yang dapat memicu konflik sosial berkesinambungan. Konflik semacam ini menjadi
tipikal negara-negara berkembang yang mengalami perubahan politik secara cepat.
Keempat,
international linkage atau keterkaitan internasional yaitu adanya hubungan
konflik pada suatu wilayah tertentu dengan berbagai aktor dan peristiwa
internasional. Ketika aktor negara dan non-negara semakin intensif dalam
melakukan hubungan lintas batas negara, maka peristiwa local semakin terbuka
terhadap ekspose secara internasional. Keterbukaan akses internasional
seringkali memperumit situasi konflik di wilayah tertentu. Berbagai kelompok
identitas giat melakukan pergerakan separatis karena mendapat dukungan (moril,
teknis dan material) dari pemerintah, organisasi, kelompok maupun simpatisan
perorangan di luar negeri.
Dari
gagasan-gagasan Azar mengenai konflik sosial berkesinambungan tersebut diatas,
dapat dicatat adanya beberapa perubahan dalam teori konflik. Pertama, fokus
perhatian bergeser dari dimensi power politics, yang menjadi arus utama dalam
konteks Perang Dingin, ke dimensi struktural yang mengaitkan upaya resolusi
konflik dengan pembangunan, isu kemiskinan, kesejahteraan dan perubahan sosial,
akses politik, serta pengakuan identitas. Pengenalan dimensi struktural dalam
memahami konflik mensyaratkan perubahan orientasi kebijakan negara-negara yang
berupaya untuk mengatasi konflik. Kedua, adanya keterkaitan antara konflik
dengan kapasitas lembaga pemerintah untuk merespon kebutuhan rakyat. Seiring
dengan menguatnya garis-garis batas primordial (etnis, agama, kekerabatan),
maka pemerintah tidak hanya dituntut untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya tetapi
juga harus mampu menghindari sikap favoritisme yang menguntungkan kelompok
identitas tertentu.
Konflik
secara sederhana dapat dikatakan sebagai sebuah relasi ketidaksepadanan
(relation of incompatibility). Konflik adalah suatu situasi dimana aktor-aktor
yang saling berhubungan satu sama lain dihadapkan pada pertentangan kepentingan
dan masing-masing pihak saling memperjuangkan kepentingannya. Dalam situasi
tertentu, pertentangan kepentingan ini dapat meningkat menjadi pertempuran
mematikan di mana masing-masing pihak dapat saling menggunakan kekerasan. Dari
segi keterlibatan aktor-aktornya, konflik dapat bermula dari tingkat individu,
rumah tangga, kelompok dan bahkan antar negara.
Jacques
Bertrand (2004: 57-59) mengatakan bahwa negara-negara yang sedang berproses
meninggalkan otoritarianisme seringkali mengalami konflik komunal. Kekerasan
komunal merupakan konjungtur kritis (critical junctures) bagi upaya memperbarui
relasi kekuasaan dan sumber daya. Dengan kata lain, kekerasan komunal menjadi
alat negosiasi bagi perubahan kelembagaan kenegaraan dalam berbagai level.
Setiap perubahan struktur kelembagaan politik kenegaraan akan berkontribusi
pada polarisasi identitas etnik, agama dan kelompok politik yang potensial
memunculkan kekerasan.
Konflik
bernuansa etnis seringkali dikaitkan dengan semangat etnosentrisme dan
nasionalisme sempit. Etnosentrisme adalah sebuah cara berpikir yang menjadikan
kelompok sendiri sebagai pusat dari segalanya dan menjadi tolak ukur dalam
menilai dan mengukur kelompok lain. Tiap-tiap kelompok diasumsikan memupuk
sendiri-sendiri kebanggaan dan harga diri, merasa superior, mengagungkan kesucian
kelompok sendiri dan memandang rendah kelompok lain. Tiap kelompok berpikir
bahwa tradisi cara pikir dan tindak kelompoknya adalah yang paling benar
sementara tradisi kelompok lain selalu dilihat dengan penuh kehinaan.
Etnosentrisme, sebagaimana nasionalisme, mengandung perilaku positif terhadap
kelompoknya sendiri (ingroup) dan perilaku atau penyikapan negatif terhadap
kelompok lain (outgroups). Sikap etnosentrisme ditandai oleh kesetiaan pada
kelompok (ingroup loyalty), antipati terhadap kelompok lain (antipathy toward
outgroups), kompensasikompensasi yang nyata (tangible rewards) dan manipulasi
para pemimpin kelompok tersebut. “Leader manipulation” ditandai oleh adanya
pemimpin yang seringkali melihat manfaat bagi diri sendiri atas nasionalisme
dan etnosentrisme. Oleh karenanya ia berusaha meningkatkan spirit itu melalui
eksploitasi rasa takut dan benci terhadap kelompok lain (Ibid.,: 82-83).
Istilah
“tak kenal maka tak sayang” berlaku dalam konteks etnosentrime. Semakin tidak
mengenal satu kelompok terhadap kelompok lain, semakin mungkin kelompok itu
salah dalam memaknai karakteristik, keyakinan, maksud-maksud dan perilaku
kelompok yang bukan bagian darinya. Etnosentrisme membatasi kontak dengan
outgroups dan oleh karenanya menyuburkan kesalahpahaman mengenai outgroups itu
sendiri.
Perbedaan
dimaknai sebagai sesuatu yang harus dihilangkan, bukan ditoleransi. Kita merasa
takut melihat orang lain atau kelompok lain yang berbeda dengan berbeda dengan
diri kita, berbeda dengan kelompok kita. Di sinilah, sense of difference
terhadap orang yang berbeda, menguat dan di saat yang bersamaan, sense of
belonging terhadap kelompok sendiri semakin mengakar. Identitas diri menguat
dan identitas selain dirinya juga semakin benderang. Hal ini kemudian
menciptakan prasangka-prasangka dan stereotip dalam melihat setiap persoalan
yang muncul.
Menurut
Jacques Bertrand (2004), ada sekurangnya tiga pendekatan yang dapat menjelaskan
mengapa etnisitas seringkali menjadi saluran bagi arus konflik dan perjuangan
politik. Pendekatan “konstruktivis” menekankan pada konteks historis dan sosial
yang membentuk, mengubah dan menegaskan batasan-batasan etnis dan akar-akar
konflik. Pendekatan “instrumentalis” fokus pada peran elit dalam memobilisasi
identitas-identitas etnis di dalam kelompoknya. Pemimpin dan para aktor politik
memakai kedekatan emosional dalam identitas etnis untuk memobilisasi dukungan
massa dalam usahanya bersaing dalam memperebutkan kuasa negara, sumber daya dan
kepentingan-kepentingan pribadi lainnya. Pendekatan “primordialis” menekankan
pada warisan dalam keterikatan etnis berupa kelahiran dan ketentuan yang tidak
bisa berubah, nasib, dalam batasan-batasan etnisitas. Kelompok-kelompok etnis,
menurut primordialis, secara inheren memang rawan terhadap beragam bentuk kekerasan
terhadap kelompok yang berbeda, sebagai sesuatu yang alamiah.
Perbedaan
dimaknai sebagai sesuatu yang harus dihilangkan, bukan ditoleransi. Perasaan
takut yang muncul ketika melihat orang lain atau kelompok lain yang berbeda
dengan berbeda dengan diri kita, berbeda dengan kelompok kita dapat dengan
serta merta dihilangkan.
BAB III
ANALISIS KONFLIK
DALAM PERISTIWA BALINURAGA DI LAMPUNG
SELATAN
Mengapa
konflik bisa meletus di Lampung Selatan yang dikenal oleh banyak orang sebagai “pelangi
khatulistiwa”? Apakah karena beragamnya etnis yang selama ini hidup
berdampingan secara harmonis di wilayah tersebut? Mengapa tak lama berselang
dari konflik komunal tersebut, muncul lagi tawuran antarwarga yang lagi-lagi
membawa isu etnis ke permukaan? Apa benar perbedaan etnis menjadi satu-satunya
alasan di balik terlukanya kehidupan keberagaman di Lampung Selatan? Banyak
pertanyaan, sekaligus kekhawatiran, yang muncul ketika kita dihadapkan pada
situasi konflik komunal yang semakin marak di bumi pertiwi akhir-akhir ini.
Konflik di Lampung hanya salah satu dari rentetan peristiwa berdarah di tanah
air yang mengangkat isu-isu primordial seperti etnis, agama, kekerabatan,
sebagai penyebab konflik. penulis akan sedikit mencoba mengurai benang kusut yang
terdapat dalam peristiwa konflik balinuraga di Lampung Selatan dengan memakai
pendekatan analisis konflik.
Prof.
Mochtar Mas’oed menyatakan bahwa sebenarnya bentrok antar warga di Lampung
Selatan pada 28-29 Oktober 2012 adalah bagian tak terpisahkan dari konflik yang
terjadi sebelumnya yang kembali terulang. Konflik tersebut sesungguhnya
memiliki akar persoalan yang lebih dalam dari sekadar perseteruan dua kelompok
etnis. Konflik-konflik sebelumnya terkait persoalan transmigrasi, Perkebunan
Inti Rakyat (PIR) hingga tambak udang, sebenarnya masih menyimpan persoalan
yang belum tuntas sehingga konflik sewaktu-waktu dapat muncul kembali.
Disinilah pentingnya kita melihat kembali faktor sejarah dan sosiologis di
balik konflik. Di masa lalu, politik etis Belanda meliputi program irigasi,
edukasi dan transmigrasi. Hal ini mendorong terjadinya proses state building
dan akumulasi kapital sekaligus perubahan demografi. Perubahan itulah yang
menjadi salah satu penyebab gesekan antara warga asli dengan pendatang. Terlebih
lagi ketika pendatang mengungguli warga asli dalam hal ekonomi. Kecemburuan
sosial dan ekonomi ini memunculkan sikap defensif sebagai “putra daerah”.
Samsu
Rizal Panggabean (Ibid.) menilai terulangnya konflik Lampung menunjukkan
kegagalan dari pemerintah khususnya aparat keamanan untuk mencegah terjadinya
konflik. Terlebih, telah diketahui bahwa konflik rawan terulang kembali.
Penanganan konflik harus lebih serius lagi dari apa yang sudah dilakukan oleh
pemerintah daerah, polisi dan tokoh masyarakat di Lampung Selatan setelah
insiden-insiden sebelumnya. Aparat keamanan gagal menurunkan ketegangan dan
mencegah kekerasan karena intervensi dilakukan ketika konflik sudah hampir
meluas. Yang terjadi bukan pembiaran tetapi kegagalan mencegah kekerasan pada tahap
awal konflik. Masyarakat di daerah yang rawan konflik juga dinilai tidak
memiliki mentalitas pencegahan. Yang ada adalah mentalitas pendekatan
penanggulangan penindakan ketika kekerasan terjadi atau sesudahnya. Untuk
kabupaten yang memiliki banyak indikator konflik, termasuk insiden dan
kekerasan yang berulang seperti di Lampung Selatan, pencegahan harus menjadi
pendekatan utama pemerintah, aparat keamanan dan masyarakat. Pengalaman
berulangnya konflik seperti di Lampung Selatan ini menunjukkan rekam jejak
polisi, militer dan pemerintah yang tidak bagus dalam menanggulangi kekerasan
yang sebelumnya terjadi.
Konflik
yang terjadi di Lampung Selatan baru-baru ini melibatkan dua kelompok etnis
yang berbeda yaitu kelompok masyarakat setempat yang beretnis Lampung dan
kelompok masyarakat pendatang beretnis Bali. Sebenarnya, etnis Lampung sebagai
“suku asli” ternyata bukanlah mayoritas dari segi jumlah. Kelompok etnis Jawa
yang pendatang justru menjadi mayoritas. Etnis Bali termasuk minoritas di
kalangan masyarakat Lampung Selatan sebagaimana yang ditulis dalam berbagi
laporan media mengenai peristiwa tersebut.
Selain
dua kelompok yang berkonflik, dapat diidentifikasi aktor-aktor lain yang
terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa konflik tersebut.
Yang pertama adalah pemerintah daerah setempat. Dalam beberapa kasus yang
mencuat, kebijakan bupati dan gubernur Lampung Selatan yang agak sensitif
menjadi faktor pendorong dan pemicu konflik. Sangat disayangkan, dalam beberapa
kasus, aparat pemerintahan seperti bupati dan gubernur, justru menjadi bagian
dari konflik alih-alih menjadi mediator. Yang kedua adalah aparat kepolisian
dan militer yang berada di daerah konflik tersebut bukan saja menjadi mediator
tetapi juga untuk menurunkan eskalasi konflik. Ketiga, LSM-LSM yang telah ada
dan baru datang kemudian dalam rangka penyembuhan trauma konflik di kalangan
anak-anak dan remaja. Dapat dikatakan, dalam konflik Lampung Selatan,
masyarakat setempatlah yang menjadi aktor perdamaian utama melalui serangkaian
upaya rekonsiliasi.
Selain
itu, faktor-faktor di balik muncul dan berkembangnya konflik yang ada terdiri
dari faktor akar atau root causes yang seringkali tidak tampak di permukaan
namun sangat menentukan. Beberapa kerusuhan berdarah yang terjadi di Indonesia
dapat dijelaskan dengan kerangka kesenjangan ekonomi atau perbedaan penguasaan
atas akses sumber daya ekonomi. Kerusuhan antara etnis Dayak dan Madura di
Sampit Kalimantan misalnya, bukan hanya disebabkan bangkitnya identitas
kelompok tetapi juga disuburkan oleh tersisihnya etnis Dayak dari penguasaan
politik-ekonomi selama puluhan tahun. Konflik Lampung Selatan juga dapat
diteropong dengan kerangka tersebut. Ketimpangan dalam penguasaan akses ekonomi
antara etnis lokal dan pendatang sangat mungkin menyuburkan potensi konflik
akibat perbedaan etnis di wilayah tersebut.
Kelompok
masyarakat etnis Bali di Lampung Selatan sebagai penguasa sektor ekonomi
transportasi dan komunikasi, sebagaimana laporan beberapa media, adalah
terbesar kedua di Kabupaten Lampung Selatan. Sementara kelompok asli Lampung
“hanya” menjadi penonton dari kemajuan pesat perkembangan perekonomian kelompok
masyarakat keturunan Bali, menjadi wong cilik yang bekerja di beragam sektor
ekonomi. Kecemburuan sosial berbasis ekonomi inilah yang dapat diduga sebagai
akar konflik yang ada tersebut. Akar konflik biasanya merupakan
ketimpanganketimpangan, deprivasi, ataupun kesenjangan yang terjadi secara
mendalam, terstruktur dan terinternalisasi di dalam tubuh masyarakat, tidak
terlihat dan bahkan seringkali terabaikan. Adapun faktor pendorongnya adalah
relasi antar masyarakat yang semakin renggang karena bergesernya tradisi hidup
bersama menjadi individualistis, bergesernya tradisi generasi lama yang
berupaya menciptakan harmonisasi hidup bersama menjadi tradisi generasi baru
yang lebih mengedepankan cara pandang egosentris sehingga mudah terluka dan
marah ketika kelompok atau anggota kelompoknya terganggu. Faktor pemicu dalam
konteks konflik Lampung Selatan adalah beragam insiden-insiden kecil yang
menyulut bara kecemburuan sosial-ekonomi.
Selain
itu, pergolakan sosial di Lampung Selatan awalnya lebih karena persoalan tanah
atau lahan perkebunan. Namun, kini pemicunya adalah insiden-insiden kecil yang
cenderung merupakan hal-hal sepele. Insiden Napal dipicu perebutan lahan
parkir. Kasus Way Panji karena kenakalan remaja dimana dua gadis Agom
pengendara sepeda motor dihadang pemuda Balinuraga bersepeda hingga mereka
jatuh. Mengapa persoalan sepele bisa meletup menjadi masalah besar yang meresahkan
seluruh kawasan?
Menurut
Syafarudin dari Universitas Lampung (harian Lampung Post pada tanggal 29
oktober 2012), konflik yang pernah ada selama ini tidak pernah ditangani secara
tuntas, implementasinya rendah dan tidak maksimalnya peran pranata yang ada,
khususnya pemerintah lokal yang seharusnya dekat dengan masyarakat dan
mengayomi. Pemerintah lokal harus menjadi fasilitator dalam kehidupan berbangsa
dan bermasyarakat. Pemimpin harus hadir di tengah rakyat sehingga ketika ada
letupan sekecil apapun, dapat menjadi tokoh yang didengar dan mau mendengarkan
serta disegani.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa konflik yang penuh dengan kekerasan di Lampung
Selatan adalah sebuah rangkaian dari kekerasan struktural berupa kesenjangan
ekonomi, dimana pada satu sisi ada kelompok yang diuntungkan oleh struktur
penguasaan sumber daya ekonomi yang ada dan di sisi lain ada kelompok yang
tersisihkan, serta kekerasan kultural berupa perbedaan etnis yang
“melegitimasi” bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Tanpa upaya memutus mata rantai
segitiga kekerasan ini, konflik-konflik akan terus bermunculan, sewaktu-waktu
tanpa pernah dapat diduga.
BAB IV
MERETAS DIKOTOMI DALAM BINGKAI
PERSATUAN INDONESIA DAN KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
Sebagaimana
diidentifikasi di atas, bahwa salah satu faktor konflik di Lampung Selatan
adalah adanya ketimpangan ekonomi, perlu disadari bersama bahwa kemiskinan yang
ada di masyarakat harus dilihat secara lebih komprehensif. Kemiskinan mendasar
adalah tidak adanya peluang dan kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan
dalam hidup sehingga memungkinkan manusia mendapatkan fasilitas-fasilitas
ekonomi dasar, pekerjaan, perlindungan keamanan dan pengakuan identitas
kulturalnya. Kita harus meyakini bahwa pada hakikatnya manusia pada saat lahir
memiliki kedudukan sama, baik secara ekonomi, politik, sosial dan hukum,
sebagai warga negara. Namun kondisi struktural-kultural yang timpang di
sekitarnya membuat tiap-tiap anggota masyarakat tidak memiliki akses yang sama
dalam pemanfaatan sumber daya yang ada. Kemiskinan dalam arti struktural dan
sosial merupakan sumber penyebab utama terjadinya berbagai bentuk konflik,
kekerasan, gejolak politik di masyarakat. Kemiskinan struktural sangat terkait
dengan bentuk kekerasan lain seperti represi politik, ketidakamanan dan
alienasi kultural.
Kemiskinan
seringkali mendorong munculnya gejolak sosial yang selanjutnya mengundang
represi politik. Represi politik seringkali disertai kekuatan paksa dari negara
dalam bentuk mobilisasi militer dan aparat keamanan, sehingga menciptakan
ketidakamanan. Ketidakamanan seringkali disertai alienasi budaya karena
diskriminasi dan marginalisasi kelompok yang berlangsung di masyarakat.
Demikian seterusnya, kemiskinan sosial pada akhirnya membawa akibat manusia
terjebak dalam lingkaran kekerasan. Pembangunan yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dan hak-hak dasar dalam hidup warga negara bukan hanya gagal tetapi
menciptakan kekerasan yang mengancam keberlangsungan hidup manusia.
Yang
dibutuhkan kemudian oleh masyarakat adalah sebuah pembangunan yang
mengedepankan pendekatan rasa persatuan sebagai bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang bertumpu pada semangat perdamaian dan berlandaskan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang bertujuan untuk
memperlembut, memperlunak praktik dan penentuan kebijakan pembangunan yang
selama ini dijalankan secara keras, dengan strategi dan cara otoritatif,
mengabaikan kekuasaan berdimensi moral-kultural, disertai tekanan politik,
berbasis organisasi ekonomi skala besar, dan mengabaikan dimensi kebutuhan dan
hak dasar manusia sehingga menimbulkan kerusakan dan kekerasan, baik terhadap
lingkungan alam maupun komunitas manusia.
Pencapaian
perdamaian di balinuraga Lampung Selatan dapat dilakukan terutama dengan mengingat
sejarah manis hubungan kedua belah pihak di masa lalu (bukan romantisme
sejarah) sebagai sebuah alat peretas dikotomi yang ada hari ini yang kemudian
dijadikan sebagai alat perekat kebangsaan yang mulai sedikit bergeser di
wilayah tersebut. Dimana kerusuhan bernuansa etnis tidak pernah terjadi pada
masa lalu di wilayah tersebut. Akulturasi berupa perkawinan antara etnis ulun
(asli) Lampung dengan keturunan Bali pernah ada di Balinuraga. Hubungan
simbiosis antara warga Lampung dan keturunan Bali misalnya tercermin dalam jual
beli janur untuk kebutuhan hari raya (harian Lampung Post: Ibid.).
Upaya
perdamaian dan rekonsiliasi yang terus dilakukan pun menyusul konflik sosial
yang menewaskan 14 orang pada Minggu dan Senin, 28-29 Oktober 2012, meski terus
digalakkan secara berkesinambungan dan dalam tempo yang tidak singkat serta
harus senantiasa ada tindak lanjut secara kontiniu. Sehingga, pertikaian yang
melibatkan warga desa Agom kecamatan Kalianda dan desa Balinuraga kecamatan Way
Panji tidak turut berimbas pada ketegangan desa-desa di sekitarnya atau bahkan
di seluruh penjuru wilayah bangsa dan negara ini. Jero Gede Bawati (kantor
berita Antara pada tanggal 30 Oktober 2012), salah satu tetua masyarakat
Balinuraga mengatakan bahwa di awal masa transmigrasi di Balinuraga
sesungguhnya antarwarga pernah hidup berdampingan dan saling bantu.
Keharmonisan yang ada pada masa lalu itu harus secepatnya dapat dikembalikan,
agar kejadian semacam ini dapat dengan cepat teratasi di masa yang akan datang.
Intinya adalah upaya yang dilakukan selama
ini, mestinya memang harus melandaskan pada semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam
Pancasila sebagai landasan ideologi dalam setiap aspek kehidupan bangsa dan
negara ini, guna meretas segala bentuk dikotomi yang ada, yang mana merupakan
sebuah keniscayaan di negeri ini. Namun yang terpenting dari seluruh paparan
tersebut, penulis hanya ingin mengingatkan diri sendiri dan para pembaca bahwa
bangsa ini didirikan dan bias eksis sampai hari ini disebabkan oleh adanya
semangat persatuan dan kesatuan yang dilandasi oleh nilai dari semangat gotong
royong guna mencapai sebuah masyarakat yang adil dan sentosa dalam setiap aspek
kehidupan yang menopang bangsa dan negara ini.
Persatuan
Indonesia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah harga mati
yang harus digali lagi secara mendalam atas segala bentuk ketimpangan yang ada
di negeri ini, yang tentunya juga tidak mengenyampingkan sila-sila lain dalam
pancasila itu sendiri sebagai sebuah kesatuan untuk menuju masyarakat yang plural
namun adil dan makmur.
Daftar Pustaka
·
Azar, Edward, 1990, The Management of
Protracted Social Conflict: Theory and Practice, Darmouth, Aldershot, USA.
·
Bertrand, Jacques, 2004, Nationalism and
Ethnic Conflict in Indonesia, Cambridge University Press, Cambridge, England.
·
Colombijn, Freek and J. Thomas Lindblad
(eds.), 2002, Roots of Violence in Indonesia: Contemporary Violence in
Historical Perspective, ISEAS, Singapore.
·
Dahrendorf, Ralf, 1976, The Modern
Social Conflict: an Essay to the Politics of Liberty, Weidenfeld and Nicolson,
London.
·
Trijono, Lambang, 2007, Pembangunan
sebagai Perdamaian: Rekonstruksi Indonesia Pasca Konflik, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
·
Harian Lampung Post pada tanggal 29
oktober 2012.
·
Kantor berita Antara pada tanggal 30 Oktober
2012.
·
Harian Kompas pada tanggal 8 November
2012.
·
Harian Kompas pada tanggal 5 November
2012.
·
Harian Kompas pada tanggal 9 November
2012.