• Proklamasi

    Kami, bangsa Indonesia, dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

    Read More
  • Wayang

    Wayang dikenal oleh bangsa Indonesia sudah sejak 1500 th. sebelum Masehi, karena nenek moyang kita percaya bahwa setiap benda hidup mempunyai roh/jiwa, ada yang baik dan ada yang jahat. Agar tidak diganggu oleh roh jahat, maka roh-roh tersebut dilukis dalam bentuk gambaran (gambar ilusi) atau bayangan (wewayangan/wayang ), disembah dan diberi sesajen yang kemudian dikenal kemudian dengan kepercayaan Animisme.

    Read More
  • Anak Terlantar

    Dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Maka secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa semua orang miskin dan semua anak terlantar pada prinsipnya dipelihara oleh Negara, tetapi pada kenyataannya yang ada di lapangan bahwa tidak semua orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.

    Read More

Kamis, 12 Juni 2014

Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Hidup Berdampingan




Kerukunan umat beragama di Indonesia sangat membanggakan. Keharmonisan kehidupan beragama tercermin melalui banyaknya kegiatan sosial yang diselenggarakan forum lintas agama. Tak hanya itu, pendirian rumah ibadah yang berdekatan dan saling hormat-menghormati juga menjadi simbol kehidupan beragama yang harmonis.

Salah satunnya, letak Masjid Istiqlal yang tak jauh dari Gereja Katedral Jakarta. Dua tempat ibadah ini salah satu simbol keindonesian yang sebenarnya. Betapa tidak, Masjid Istiqlal sendiri merupakan tempat ibadah umat muslim terbesar se-Asia Tenggara. Tempat ibadah ini pertama kali dibangun pada tanggal 24 Agustus 1961, bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Masjid ini diresmikan pada tanggal 22 Februari 1978 sebagai ungkapan syukur atas bebasnya bangsa Indonesia dari masa penjajahan.

Pembangunan Masjid ini diprakarsai Presiden Soekarno. Lokasi masjid ini dipilih berdampingan dengan Gereja Katedral Jakarta untuk melambangkan semangat persaudaraan, persatuan dan toleransi beragama sesuai Pancasila.

Sejauh ini kegiatan keagaaman di Masjid Istiqlal berjalan dengan baik, demikian pula dengan kegiatan keagamaan di Gereja Katedral. Bahkan, ketika perayaan Natal berlangsung banyak umat muslim yang turut membantu pengamanan bersama dengan jajaran kepolisian.

Gereja Katral sendiri merupakan gereja tua yang dibangun sejak tahun 1891.  Pada tahun 1892 pembangunannya sempat terhenti karena kekurangan biaya. Setelah terhenti beberapa tahun, pada tanggal 16 Januari 1899, pembangunan Gereja Katedral Jakarta dimulai kembali yang ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Mgr E.S. Luypen SJ dan M.J. Hulswit. Sampai pada tanggal 21 April 1901, gedung Gereja Katedral Jakarta, diresmikan dan diberkati oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, SJ, seorang Vikaris Apostolik Jakarta. (mtx)

Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Katedral_Jakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Istiqlal

Konflik Balinuraga Lampung Selatan




BAB I
PROLOG

Baru-baru ini, bangsa ini kembali menagis oleh peristiwa yang memiriskan hati. Dimana dalam peristiwa tersebut dalam serta merta menguatkan sebuah tesis tentang keteruraian bangsa Indonesia sebagai sebuah Negara bangsa.Bahkan yang lebih memilukan dari peristiwa tersebut adalah konflik yang terjadi awalnya disulut oleh sebuah persoalan yang sangat sepele.Meskipun harus juga disadari bahwa peristiwa tersebut adalah “luka lama” yang kembali terkuak akibat peristiwa tersebut.Dalam liputan berbagai media mengenai peristiwa tersebut,disebutkan bahwa awal mula kejadian tarsebut hanyalah peristiwa senggol menyenggol anak muda ketika berkendaraan yang berujung pada sebuah tauran massal antara penduduk local dan penduduk transmigrasi yang berasal dari bali.
Namun sebelum melihat lebih jauh konflik tersebut ada baiknya melihat kebelakang awal mula dari “luka lama” yang merugikan bangsa indonesia sebagai sebuah Negara yang berbeda tetapi satu.
Dalam catatan sejarah bahwa awal dari konflik tersebut yang kemudian memendam sebuah dendam adalah diawali pada peristiwa awal tahun 1990-an.Peristiwa yang mempersoalkan lahan perkebunan tersebut merupakan sebuah pemicu lama yang menunjukan ketimpangan sosial dan ekonomi diwilayah tersebut yang sampai sekarang menjadi sebuah catatan hitam atas keradaan Balinuraga didaerah Lampung Selatan ini.



BAB II
MELIHAT KONFLIK DALAM KERANGKA TEORI
                                               
Sosiolog Dahrendorf (1976) melihat konflik pada dasarnya memiliki dua makna. Pertama, konflik adalah konsekuensi atau akibat dari tidak tuntasnya proses integrasi di dalam suatu masyarakat. Dalam konteks kegagalan integrasi seperti ini, konflik menjadi sebuah gejala penyakit (syndrom) yang dapat merusak persatuan dan kesatuan suatu masyarakat dalam sebuah bangsa. Kedua, konflik dapat pula dipahami sebagai sebuah proses alamiah dalam rangka proyek rekonstruksi sosial. Dalam konteks ini konflik dilihat secara “fungsional” sebagai suatu strategi untuk menghilangkan unsurunsur disintegratif di dalam masyarakat yang tidak terintegrasi secara sempurna. Konflik dalam perspektif ini diyakini sebagai sebuah media yang bila terselesaikan dengan baik, justru akan memperkuat proses integrasi dalam masyarakat.
Melalui teori dari Dahrendorf dapat dipelajari bahwa konflik dapat dilihat dari dua kacamata berbeda yaitu antara positif dan negatif, pesimisme dan optimisme. Konflik sebagai sebuah kegagalan integrasi atau konflik sebagai sebuah mekanisme yang harus dilalui masyarakat dalam sebuah bangsa untuk menyempurnakan proses integrasi anggota-anggotanya. Menurut penulis, konflik-konflik yang terjadi di Indonesia, baik yang mengusung isu etnis, agama, ekonomi, dan lain-lain, merupakan sebuah sarana pembelajaran bagi pihak-pihak yang berkonflik, termasuk bagi pemerintah dan aktoraktor perdamaian lainnya. Bila konflik dapat ditangani dengan baik, maka upaya merajut kembali sebuah bingkai keragaman yang indah, menjadi sesuatu yang tak utopis lagi.
Upaya memahami konflik secara non-konvensional telah dilakukan Edward Azar (1990) dengan memperkenalkan konsep konflik sosial berkesinambugan (protracted social conflict-PSC) yaitu konflik yang melibatkan kelompok-kelompok komunal yang saling memperjuangkan kebutuhan dasar (basic needs) seperti keamanan, pengakuan identitas, penerimaan eksistensi, akses terhadap lembaga politik dan partisipasi ekonomi. Menurut Azar ada sekurangnya empat variabel di dalam berbagai PSC. Pertama, communal content and discontent yaitu sikap puas atau tidak puas kelompok identitas tertentu terhadap realitas sosial dan politik yang ada. Berbagai kelompok identitas yang ada di dalam masyarakat; kelompok etnis, religius, kekerabatan, pada saat tertentu dapat merasakan bahwa kondisi sosial dan politik yang ada sesuai dengan apa yang mereka harapkan tetapi pada saat lain kelompok-kelompok tersebut dapat merasa kecewa atau bahkan frustasi terhadap situasi yang mereka anggap mengganggu eksistensi dan melecehkan identitas mereka. Dalam situasi penuh kekecewaan dan frustasi inilah konflik sosial berkesinambungan dapat terjadi. Upaya untuk meredam konflik tersebut dapat dilakukan jika masyarakat saling mengakui identitas kelompok masingmasing, baik kelompok mayoritas maupun minoritas. Selain itu perlu dibuka akses terhadap dialog antar kelompok identitas dan proses sosialisasi identitas masing-masing kelompok hingga ke tingkat akar rumput atau lapisan paling bawah (grassroots) untuk meredam intensitas konflik yang disebabkan oleh communal discontent ini.
Kedua, deprivation atau degradasi sosial, yaitu pengingkaran terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial kelompok-kelompok identitas yang ada. Keluhan yang muncul akibat degradasi sosial seringkali diekspresikan secara kolektif. Kegagalan penguasa untuk merespon secara proporsional keluhankeluhan tersebut dapat memicu terjadinya sebuah konflik sosial berkesinambungan. Konflik dapat memburuk jika penguasa memperlakukan berbagai kelompok identitas secara berbeda, termasuk dalam hal pendistribusian sumber-sumber ekonomi. Apa yang dipersoalkan oleh kelompok yang mengalami deprivasi bukan sekadar kepentingan (interest) tetapi kebutuhan (needs). Berbeda dengan kepentingan yang biasanya dapat dinegosiasikan, kebutuhan biasanya menyangkut hal-hal ontologis yang tidak dapat ditawar sehingga konflik yang didorong oleh kebutuhan biasanya mudah berkembang menjadi pertikaian yang mengerikan dan cenderung tidak rasional. Kebutuhan dalam konteks ini meliputi kebutuhan untuk berkembang, kebutuhan untuk merasa aman, kebutuhan untuk hidup layak, kebutuhan untuk mendapat akses ekonomi-politik dan kebutuhan untuk mempertahankan identitas seperti etnis, budaya, agama, adat istiadat, dan seterusnya. Bahwa konflik menyangkut tidak terpenuhinya basic needs, mengisyaratkan kepada kita bahwa persoalan kemiskinan ternyata ikut berperan dalam menciptakan konflik. Pembangunan ekonomi yang bermasalah justru dapat meningkatkan frustrasi sosial yang dapat mendorong berbagai pihak memulai konflik dengan pihak lain. Pembangunan dan proses modernisasi di negara berkembang berpotensi menjadi sebuah proses pembentukan kekerasan (violent-generating process).
Ketiga, the quality of governance atau kualitas administratif lembaga pemerintah. Kapabilitas Negara dalam mengkombinasikan penggunaan kekerasan, perangkat hukum, kekuasaan, legitimasi, dan sistem birokrasi dalam mengatur masyarakat, melindungi warga negara, menyediakan kebutuhan material, sangat penting dalam upaya memberikan kepuasan bagi berbagai kelompok identitas yang ada. Kebanyakan negara-negara yang dilanda konflik sosial berkesinambungan, memiliki ciri-ciri antara lain; diperintah oleh seorang penguasa militer yang tidak mempedulikan kebutuhan masyarakat lapisan bawah, tidak kompeten dalam merespon keinginan dari kelompok-kelompok identitas yang ada, terlalu rentan terhadap pertikaian antarelit sehingga menciptakan keresahan dan ketidakpuasan rakyat. Pemerintah dengan kualitas administratif rendah cenderung menciptakan krisis legitimasi yang dapat memicu konflik sosial berkesinambungan. Konflik semacam ini menjadi tipikal negara-negara berkembang yang mengalami perubahan politik secara cepat.
Keempat, international linkage atau keterkaitan internasional yaitu adanya hubungan konflik pada suatu wilayah tertentu dengan berbagai aktor dan peristiwa internasional. Ketika aktor negara dan non-negara semakin intensif dalam melakukan hubungan lintas batas negara, maka peristiwa local semakin terbuka terhadap ekspose secara internasional. Keterbukaan akses internasional seringkali memperumit situasi konflik di wilayah tertentu. Berbagai kelompok identitas giat melakukan pergerakan separatis karena mendapat dukungan (moril, teknis dan material) dari pemerintah, organisasi, kelompok maupun simpatisan perorangan di luar negeri.
Dari gagasan-gagasan Azar mengenai konflik sosial berkesinambungan tersebut diatas, dapat dicatat adanya beberapa perubahan dalam teori konflik. Pertama, fokus perhatian bergeser dari dimensi power politics, yang menjadi arus utama dalam konteks Perang Dingin, ke dimensi struktural yang mengaitkan upaya resolusi konflik dengan pembangunan, isu kemiskinan, kesejahteraan dan perubahan sosial, akses politik, serta pengakuan identitas. Pengenalan dimensi struktural dalam memahami konflik mensyaratkan perubahan orientasi kebijakan negara-negara yang berupaya untuk mengatasi konflik. Kedua, adanya keterkaitan antara konflik dengan kapasitas lembaga pemerintah untuk merespon kebutuhan rakyat. Seiring dengan menguatnya garis-garis batas primordial (etnis, agama, kekerabatan), maka pemerintah tidak hanya dituntut untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya tetapi juga harus mampu menghindari sikap favoritisme yang menguntungkan kelompok identitas tertentu.
Konflik secara sederhana dapat dikatakan sebagai sebuah relasi ketidaksepadanan (relation of incompatibility). Konflik adalah suatu situasi dimana aktor-aktor yang saling berhubungan satu sama lain dihadapkan pada pertentangan kepentingan dan masing-masing pihak saling memperjuangkan kepentingannya. Dalam situasi tertentu, pertentangan kepentingan ini dapat meningkat menjadi pertempuran mematikan di mana masing-masing pihak dapat saling menggunakan kekerasan. Dari segi keterlibatan aktor-aktornya, konflik dapat bermula dari tingkat individu, rumah tangga, kelompok dan bahkan antar negara.
Jacques Bertrand (2004: 57-59) mengatakan bahwa negara-negara yang sedang berproses meninggalkan otoritarianisme seringkali mengalami konflik komunal. Kekerasan komunal merupakan konjungtur kritis (critical junctures) bagi upaya memperbarui relasi kekuasaan dan sumber daya. Dengan kata lain, kekerasan komunal menjadi alat negosiasi bagi perubahan kelembagaan kenegaraan dalam berbagai level. Setiap perubahan struktur kelembagaan politik kenegaraan akan berkontribusi pada polarisasi identitas etnik, agama dan kelompok politik yang potensial memunculkan kekerasan.
Konflik bernuansa etnis seringkali dikaitkan dengan semangat etnosentrisme dan nasionalisme sempit. Etnosentrisme adalah sebuah cara berpikir yang menjadikan kelompok sendiri sebagai pusat dari segalanya dan menjadi tolak ukur dalam menilai dan mengukur kelompok lain. Tiap-tiap kelompok diasumsikan memupuk sendiri-sendiri kebanggaan dan harga diri, merasa superior, mengagungkan kesucian kelompok sendiri dan memandang rendah kelompok lain. Tiap kelompok berpikir bahwa tradisi cara pikir dan tindak kelompoknya adalah yang paling benar sementara tradisi kelompok lain selalu dilihat dengan penuh kehinaan. Etnosentrisme, sebagaimana nasionalisme, mengandung perilaku positif terhadap kelompoknya sendiri (ingroup) dan perilaku atau penyikapan negatif terhadap kelompok lain (outgroups). Sikap etnosentrisme ditandai oleh kesetiaan pada kelompok (ingroup loyalty), antipati terhadap kelompok lain (antipathy toward outgroups), kompensasikompensasi yang nyata (tangible rewards) dan manipulasi para pemimpin kelompok tersebut. “Leader manipulation” ditandai oleh adanya pemimpin yang seringkali melihat manfaat bagi diri sendiri atas nasionalisme dan etnosentrisme. Oleh karenanya ia berusaha meningkatkan spirit itu melalui eksploitasi rasa takut dan benci terhadap kelompok lain (Ibid.,: 82-83).
Istilah “tak kenal maka tak sayang” berlaku dalam konteks etnosentrime. Semakin tidak mengenal satu kelompok terhadap kelompok lain, semakin mungkin kelompok itu salah dalam memaknai karakteristik, keyakinan, maksud-maksud dan perilaku kelompok yang bukan bagian darinya. Etnosentrisme membatasi kontak dengan outgroups dan oleh karenanya menyuburkan kesalahpahaman mengenai outgroups itu sendiri.
Perbedaan dimaknai sebagai sesuatu yang harus dihilangkan, bukan ditoleransi. Kita merasa takut melihat orang lain atau kelompok lain yang berbeda dengan berbeda dengan diri kita, berbeda dengan kelompok kita. Di sinilah, sense of difference terhadap orang yang berbeda, menguat dan di saat yang bersamaan, sense of belonging terhadap kelompok sendiri semakin mengakar. Identitas diri menguat dan identitas selain dirinya juga semakin benderang. Hal ini kemudian menciptakan prasangka-prasangka dan stereotip dalam melihat setiap persoalan yang muncul.
Menurut Jacques Bertrand (2004), ada sekurangnya tiga pendekatan yang dapat menjelaskan mengapa etnisitas seringkali menjadi saluran bagi arus konflik dan perjuangan politik. Pendekatan “konstruktivis” menekankan pada konteks historis dan sosial yang membentuk, mengubah dan menegaskan batasan-batasan etnis dan akar-akar konflik. Pendekatan “instrumentalis” fokus pada peran elit dalam memobilisasi identitas-identitas etnis di dalam kelompoknya. Pemimpin dan para aktor politik memakai kedekatan emosional dalam identitas etnis untuk memobilisasi dukungan massa dalam usahanya bersaing dalam memperebutkan kuasa negara, sumber daya dan kepentingan-kepentingan pribadi lainnya. Pendekatan “primordialis” menekankan pada warisan dalam keterikatan etnis berupa kelahiran dan ketentuan yang tidak bisa berubah, nasib, dalam batasan-batasan etnisitas. Kelompok-kelompok etnis, menurut primordialis, secara inheren memang rawan terhadap beragam bentuk kekerasan terhadap kelompok yang berbeda, sebagai sesuatu yang alamiah.
Perbedaan dimaknai sebagai sesuatu yang harus dihilangkan, bukan ditoleransi. Perasaan takut yang muncul ketika melihat orang lain atau kelompok lain yang berbeda dengan berbeda dengan diri kita, berbeda dengan kelompok kita dapat dengan serta merta dihilangkan.
                                                                             


BAB III
ANALISIS KONFLIK DALAM PERISTIWA BALINURAGA  DI LAMPUNG SELATAN

Mengapa konflik bisa meletus di Lampung Selatan yang dikenal oleh banyak orang sebagai “pelangi khatulistiwa”? Apakah karena beragamnya etnis yang selama ini hidup berdampingan secara harmonis di wilayah tersebut? Mengapa tak lama berselang dari konflik komunal tersebut, muncul lagi tawuran antarwarga yang lagi-lagi membawa isu etnis ke permukaan? Apa benar perbedaan etnis menjadi satu-satunya alasan di balik terlukanya kehidupan keberagaman di Lampung Selatan? Banyak pertanyaan, sekaligus kekhawatiran, yang muncul ketika kita dihadapkan pada situasi konflik komunal yang semakin marak di bumi pertiwi akhir-akhir ini. Konflik di Lampung hanya salah satu dari rentetan peristiwa berdarah di tanah air yang mengangkat isu-isu primordial seperti etnis, agama, kekerabatan, sebagai penyebab konflik. penulis akan sedikit mencoba mengurai benang kusut yang terdapat dalam peristiwa konflik balinuraga di Lampung Selatan dengan memakai pendekatan analisis konflik.
Prof. Mochtar Mas’oed menyatakan bahwa sebenarnya bentrok antar warga di Lampung Selatan pada 28-29 Oktober 2012 adalah bagian tak terpisahkan dari konflik yang terjadi sebelumnya yang kembali terulang. Konflik tersebut sesungguhnya memiliki akar persoalan yang lebih dalam dari sekadar perseteruan dua kelompok etnis. Konflik-konflik sebelumnya terkait persoalan transmigrasi, Perkebunan Inti Rakyat (PIR) hingga tambak udang, sebenarnya masih menyimpan persoalan yang belum tuntas sehingga konflik sewaktu-waktu dapat muncul kembali. Disinilah pentingnya kita melihat kembali faktor sejarah dan sosiologis di balik konflik. Di masa lalu, politik etis Belanda meliputi program irigasi, edukasi dan transmigrasi. Hal ini mendorong terjadinya proses state building dan akumulasi kapital sekaligus perubahan demografi. Perubahan itulah yang menjadi salah satu penyebab gesekan antara warga asli dengan pendatang. Terlebih lagi ketika pendatang mengungguli warga asli dalam hal ekonomi. Kecemburuan sosial dan ekonomi ini memunculkan sikap defensif sebagai “putra daerah”.
Samsu Rizal Panggabean (Ibid.) menilai terulangnya konflik Lampung menunjukkan kegagalan dari pemerintah khususnya aparat keamanan untuk mencegah terjadinya konflik. Terlebih, telah diketahui bahwa konflik rawan terulang kembali. Penanganan konflik harus lebih serius lagi dari apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah, polisi dan tokoh masyarakat di Lampung Selatan setelah insiden-insiden sebelumnya. Aparat keamanan gagal menurunkan ketegangan dan mencegah kekerasan karena intervensi dilakukan ketika konflik sudah hampir meluas. Yang terjadi bukan pembiaran tetapi kegagalan mencegah kekerasan pada tahap awal konflik. Masyarakat di daerah yang rawan konflik juga dinilai tidak memiliki mentalitas pencegahan. Yang ada adalah mentalitas pendekatan penanggulangan penindakan ketika kekerasan terjadi atau sesudahnya. Untuk kabupaten yang memiliki banyak indikator konflik, termasuk insiden dan kekerasan yang berulang seperti di Lampung Selatan, pencegahan harus menjadi pendekatan utama pemerintah, aparat keamanan dan masyarakat. Pengalaman berulangnya konflik seperti di Lampung Selatan ini menunjukkan rekam jejak polisi, militer dan pemerintah yang tidak bagus dalam menanggulangi kekerasan yang sebelumnya terjadi.
Konflik yang terjadi di Lampung Selatan baru-baru ini melibatkan dua kelompok etnis yang berbeda yaitu kelompok masyarakat setempat yang beretnis Lampung dan kelompok masyarakat pendatang beretnis Bali. Sebenarnya, etnis Lampung sebagai “suku asli” ternyata bukanlah mayoritas dari segi jumlah. Kelompok etnis Jawa yang pendatang justru menjadi mayoritas. Etnis Bali termasuk minoritas di kalangan masyarakat Lampung Selatan sebagaimana yang ditulis dalam berbagi laporan media mengenai peristiwa tersebut.
Selain dua kelompok yang berkonflik, dapat diidentifikasi aktor-aktor lain yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa konflik tersebut. Yang pertama adalah pemerintah daerah setempat. Dalam beberapa kasus yang mencuat, kebijakan bupati dan gubernur Lampung Selatan yang agak sensitif menjadi faktor pendorong dan pemicu konflik. Sangat disayangkan, dalam beberapa kasus, aparat pemerintahan seperti bupati dan gubernur, justru menjadi bagian dari konflik alih-alih menjadi mediator. Yang kedua adalah aparat kepolisian dan militer yang berada di daerah konflik tersebut bukan saja menjadi mediator tetapi juga untuk menurunkan eskalasi konflik. Ketiga, LSM-LSM yang telah ada dan baru datang kemudian dalam rangka penyembuhan trauma konflik di kalangan anak-anak dan remaja. Dapat dikatakan, dalam konflik Lampung Selatan, masyarakat setempatlah yang menjadi aktor perdamaian utama melalui serangkaian upaya rekonsiliasi.
Selain itu, faktor-faktor di balik muncul dan berkembangnya konflik yang ada terdiri dari faktor akar atau root causes yang seringkali tidak tampak di permukaan namun sangat menentukan. Beberapa kerusuhan berdarah yang terjadi di Indonesia dapat dijelaskan dengan kerangka kesenjangan ekonomi atau perbedaan penguasaan atas akses sumber daya ekonomi. Kerusuhan antara etnis Dayak dan Madura di Sampit Kalimantan misalnya, bukan hanya disebabkan bangkitnya identitas kelompok tetapi juga disuburkan oleh tersisihnya etnis Dayak dari penguasaan politik-ekonomi selama puluhan tahun. Konflik Lampung Selatan juga dapat diteropong dengan kerangka tersebut. Ketimpangan dalam penguasaan akses ekonomi antara etnis lokal dan pendatang sangat mungkin menyuburkan potensi konflik akibat perbedaan etnis di wilayah tersebut.
Kelompok masyarakat etnis Bali di Lampung Selatan sebagai penguasa sektor ekonomi transportasi dan komunikasi, sebagaimana laporan beberapa media, adalah terbesar kedua di Kabupaten Lampung Selatan. Sementara kelompok asli Lampung “hanya” menjadi penonton dari kemajuan pesat perkembangan perekonomian kelompok masyarakat keturunan Bali, menjadi wong cilik yang bekerja di beragam sektor ekonomi. Kecemburuan sosial berbasis ekonomi inilah yang dapat diduga sebagai akar konflik yang ada tersebut. Akar konflik biasanya merupakan ketimpanganketimpangan, deprivasi, ataupun kesenjangan yang terjadi secara mendalam, terstruktur dan terinternalisasi di dalam tubuh masyarakat, tidak terlihat dan bahkan seringkali terabaikan. Adapun faktor pendorongnya adalah relasi antar masyarakat yang semakin renggang karena bergesernya tradisi hidup bersama menjadi individualistis, bergesernya tradisi generasi lama yang berupaya menciptakan harmonisasi hidup bersama menjadi tradisi generasi baru yang lebih mengedepankan cara pandang egosentris sehingga mudah terluka dan marah ketika kelompok atau anggota kelompoknya terganggu. Faktor pemicu dalam konteks konflik Lampung Selatan adalah beragam insiden-insiden kecil yang menyulut bara kecemburuan sosial-ekonomi.
Selain itu, pergolakan sosial di Lampung Selatan awalnya lebih karena persoalan tanah atau lahan perkebunan. Namun, kini pemicunya adalah insiden-insiden kecil yang cenderung merupakan hal-hal sepele. Insiden Napal dipicu perebutan lahan parkir. Kasus Way Panji karena kenakalan remaja dimana dua gadis Agom pengendara sepeda motor dihadang pemuda Balinuraga bersepeda hingga mereka jatuh. Mengapa persoalan sepele bisa meletup menjadi masalah besar yang meresahkan seluruh kawasan?
Menurut Syafarudin dari Universitas Lampung (harian Lampung Post pada tanggal 29 oktober 2012), konflik yang pernah ada selama ini tidak pernah ditangani secara tuntas, implementasinya rendah dan tidak maksimalnya peran pranata yang ada, khususnya pemerintah lokal yang seharusnya dekat dengan masyarakat dan mengayomi. Pemerintah lokal harus menjadi fasilitator dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Pemimpin harus hadir di tengah rakyat sehingga ketika ada letupan sekecil apapun, dapat menjadi tokoh yang didengar dan mau mendengarkan serta disegani.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konflik yang penuh dengan kekerasan di Lampung Selatan adalah sebuah rangkaian dari kekerasan struktural berupa kesenjangan ekonomi, dimana pada satu sisi ada kelompok yang diuntungkan oleh struktur penguasaan sumber daya ekonomi yang ada dan di sisi lain ada kelompok yang tersisihkan, serta kekerasan kultural berupa perbedaan etnis yang “melegitimasi” bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Tanpa upaya memutus mata rantai segitiga kekerasan ini, konflik-konflik akan terus bermunculan, sewaktu-waktu tanpa pernah dapat diduga.
  


BAB IV
MERETAS DIKOTOMI DALAM BINGKAI PERSATUAN INDONESIA DAN KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA

Sebagaimana diidentifikasi di atas, bahwa salah satu faktor konflik di Lampung Selatan adalah adanya ketimpangan ekonomi, perlu disadari bersama bahwa kemiskinan yang ada di masyarakat harus dilihat secara lebih komprehensif. Kemiskinan mendasar adalah tidak adanya peluang dan kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan dalam hidup sehingga memungkinkan manusia mendapatkan fasilitas-fasilitas ekonomi dasar, pekerjaan, perlindungan keamanan dan pengakuan identitas kulturalnya. Kita harus meyakini bahwa pada hakikatnya manusia pada saat lahir memiliki kedudukan sama, baik secara ekonomi, politik, sosial dan hukum, sebagai warga negara. Namun kondisi struktural-kultural yang timpang di sekitarnya membuat tiap-tiap anggota masyarakat tidak memiliki akses yang sama dalam pemanfaatan sumber daya yang ada. Kemiskinan dalam arti struktural dan sosial merupakan sumber penyebab utama terjadinya berbagai bentuk konflik, kekerasan, gejolak politik di masyarakat. Kemiskinan struktural sangat terkait dengan bentuk kekerasan lain seperti represi politik, ketidakamanan dan alienasi kultural.
Kemiskinan seringkali mendorong munculnya gejolak sosial yang selanjutnya mengundang represi politik. Represi politik seringkali disertai kekuatan paksa dari negara dalam bentuk mobilisasi militer dan aparat keamanan, sehingga menciptakan ketidakamanan. Ketidakamanan seringkali disertai alienasi budaya karena diskriminasi dan marginalisasi kelompok yang berlangsung di masyarakat. Demikian seterusnya, kemiskinan sosial pada akhirnya membawa akibat manusia terjebak dalam lingkaran kekerasan. Pembangunan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dan hak-hak dasar dalam hidup warga negara bukan hanya gagal tetapi menciptakan kekerasan yang mengancam keberlangsungan hidup manusia.
Yang dibutuhkan kemudian oleh masyarakat adalah sebuah pembangunan yang mengedepankan pendekatan rasa persatuan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertumpu pada semangat perdamaian dan berlandaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang bertujuan untuk memperlembut, memperlunak praktik dan penentuan kebijakan pembangunan yang selama ini dijalankan secara keras, dengan strategi dan cara otoritatif, mengabaikan kekuasaan berdimensi moral-kultural, disertai tekanan politik, berbasis organisasi ekonomi skala besar, dan mengabaikan dimensi kebutuhan dan hak dasar manusia sehingga menimbulkan kerusakan dan kekerasan, baik terhadap lingkungan alam maupun komunitas manusia.
Pencapaian perdamaian di balinuraga Lampung Selatan dapat dilakukan terutama dengan mengingat sejarah manis hubungan kedua belah pihak di masa lalu (bukan romantisme sejarah) sebagai sebuah alat peretas dikotomi yang ada hari ini yang kemudian dijadikan sebagai alat perekat kebangsaan yang mulai sedikit bergeser di wilayah tersebut. Dimana kerusuhan bernuansa etnis tidak pernah terjadi pada masa lalu di wilayah tersebut. Akulturasi berupa perkawinan antara etnis ulun (asli) Lampung dengan keturunan Bali pernah ada di Balinuraga. Hubungan simbiosis antara warga Lampung dan keturunan Bali misalnya tercermin dalam jual beli janur untuk kebutuhan hari raya (harian Lampung Post: Ibid.).
Upaya perdamaian dan rekonsiliasi yang terus dilakukan pun menyusul konflik sosial yang menewaskan 14 orang pada Minggu dan Senin, 28-29 Oktober 2012, meski terus digalakkan secara berkesinambungan dan dalam tempo yang tidak singkat serta harus senantiasa ada tindak lanjut secara kontiniu. Sehingga, pertikaian yang melibatkan warga desa Agom kecamatan Kalianda dan desa Balinuraga kecamatan Way Panji tidak turut berimbas pada ketegangan desa-desa di sekitarnya atau bahkan di seluruh penjuru wilayah bangsa dan negara ini. Jero Gede Bawati (kantor berita Antara pada tanggal 30 Oktober 2012), salah satu tetua masyarakat Balinuraga mengatakan bahwa di awal masa transmigrasi di Balinuraga sesungguhnya antarwarga pernah hidup berdampingan dan saling bantu. Keharmonisan yang ada pada masa lalu itu harus secepatnya dapat dikembalikan, agar kejadian semacam ini dapat dengan cepat teratasi di masa yang akan datang.
 Intinya adalah upaya yang dilakukan selama ini, mestinya memang harus melandaskan pada semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam Pancasila sebagai landasan ideologi dalam setiap aspek kehidupan bangsa dan negara ini, guna meretas segala bentuk dikotomi yang ada, yang mana merupakan sebuah keniscayaan di negeri ini. Namun yang terpenting dari seluruh paparan tersebut, penulis hanya ingin mengingatkan diri sendiri dan para pembaca bahwa bangsa ini didirikan dan bias eksis sampai hari ini disebabkan oleh adanya semangat persatuan dan kesatuan yang dilandasi oleh nilai dari semangat gotong royong guna mencapai sebuah masyarakat yang adil dan sentosa dalam setiap aspek kehidupan yang menopang bangsa dan negara ini.
Persatuan Indonesia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah harga mati yang harus digali lagi secara mendalam atas segala bentuk ketimpangan yang ada di negeri ini, yang tentunya juga tidak mengenyampingkan sila-sila lain dalam pancasila itu sendiri sebagai sebuah kesatuan untuk menuju masyarakat yang plural namun adil dan makmur.





Daftar Pustaka

·         Azar, Edward, 1990, The Management of Protracted Social Conflict: Theory and Practice, Darmouth, Aldershot, USA.
·         Bertrand, Jacques, 2004, Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, Cambridge University Press, Cambridge, England.
·         Colombijn, Freek and J. Thomas Lindblad (eds.), 2002, Roots of Violence in Indonesia: Contemporary Violence in Historical Perspective, ISEAS, Singapore.
·         Dahrendorf, Ralf, 1976, The Modern Social Conflict: an Essay to the Politics of Liberty, Weidenfeld and Nicolson, London.
·         Trijono, Lambang, 2007, Pembangunan sebagai Perdamaian: Rekonstruksi Indonesia Pasca Konflik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
·         Harian Lampung Post pada tanggal 29 oktober 2012.
·         Kantor berita Antara pada tanggal 30 Oktober 2012.
·         Harian Kompas pada tanggal 8 November 2012.
·         Harian Kompas pada tanggal 5 November 2012.

·         Harian Kompas pada tanggal 9 November 2012.

Sabtu, 11 Januari 2014

Pancasila (Sejarah Pancasila, Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Funggsi Pancasila)






BAB I
SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA
                               
1.1  Umum
Istilah “pancasila” pertamakali dapat ditemukan dalam buku “Sutasoma” karya Mpu Tantular yang ditulis pada zaman Majapahit pada abad ke 14. Dalam buku itu istilah Pancasila diartikan sebagai perintah kesusilaan yang berjumlah lima (Pancasila Karma) dan berisi lima larangan untuk:
1.      Melakukan kekerasan
2.      Mencuri
3.      Berjiwa dengki
4.      Berbohong
5.      Mabuk karena minuman keras

1.2  Awal Berdirinya Pancasila
Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan Negara Indonesia, tidak semata-mata terbentuk begitu saja dengan hanya diciptakan oleh seseorang seperti yang terjadi pada ideologi-ideologi lain di dunia. Akan tetapi terbentuknya Pancasila mengalami proses yang sangat panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Sejak 400 tahun yang lalu pada masa kejayaan Kutai dimana pada masa itu masayarakat Kutai yang membuka zaman sejarah Indonesia pertama kali, sudah terlihat menampilkan nilai-nilai sosial politik, dan ketuhanan dalam bentuk kerajaan.
Secara kausalitas Pancasila belum disyahkan menjadi dasar filsafat Negara, nilai-nilainya telah ada dan berasal dari Negara Indonesia itu sendiri, seperti adat- istiadat, kebudayaan, dan nilai-nilai religius. Kemudian para pendiri Negara mengangkat nilai-nilai tersebut kemudian dirumuskan secara musyawarah mufakat berdasarkan moral-moral yang luhur diantaranya dalam sidang BPUPKI yang pertama, sidang panitia sembilan yang kemudian melahirkan piagam Jakarta yang memuat Pancasila yang pertama kali, kemudian dibahas lagi dalam sidang BPUPKI yang kedua. Setelah kemerdekaan Indonesia sebelum sidang PPKI Pancasila sebagai calon dasar filsafat negara dibahas serta disempurnakan lagi dan akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945 disyahkan oleh PPKI sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia (Kaelan, 2008:103).
Pengetahuan yang lengkap tentang proses terjadinya Pancasila berdasarkan pada proses kausalitas, secara kausalitas asal mula pancasila dibedakan menjadi dua macam yaitu asal mula langsung dan asal mula tidak langsung. Berikut penjelasan dari asal mula langsung da nasal mula tidak langsung:
a.       Asal Mula Langsung
Pengertian asal mula secara ilmiah filsafati dibedakan atas empat macam yaitu:
1)      Asal mula bahan (Kausa Materialis)
Bangsa Indonesia adalah asal dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri, sehingga pada hakikatnya nilai Pancasila merupakan unsur-unsur yang digali dari bangsa Indonesia yang bermula dari adat-istiadat kebudayaan serta nilai religius. Bisa disimpulkan bahwa asal bahan Pancasila adalah pada bangsa Indonesia yang terdapat dalam kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
2)      Asal mula bentuk (Kausa Formalis)
Asal mula bentuk atau bagaimana betuk Pancasila itu sebagaimana termuat dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Dengan demikian maka asal mula bentuk Pancasila adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta serta anggota BPUPKI lainya yang merumuskan dan membahas Pancasila.
3)      Asal mula karya (Kausa Effisien)
Asal mula yang menjadikan atau mengesahkan Pancasila dari calon yang akan menjadi dasar negara yang sah. Yaitu PPKI sebagai pembentuk negara dan telah mengesahkan Pancasila sebagai landasan dasar negara.
4)      Asal mula tujuan (Kausa Finalis)
Pancasila dirumuskan dan di bahas oleh para pendiri Negara bertujuan untuk dijadikan sebagai landasan dasar negara. Oleh karena itu Asal mula tujuan tersebuat adalah anggota BPUPKI beserta panitia sembilan.
b.      Asal Mula Tidak Langsung
Asal mula Pancasila tidak langsung secara kausalitas yaitu asal mula sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Artinya nilai Pancasila sejak dahulu sudah terdapat dalam adat-istiadat, kebudayaan dan nilai-nilai agama bangsa Indonesia. Jadi asal mula Pancasila secara tidak langsung adalah terdapat pada kepribadian bangsa dan dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu adanya nilai-nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Hal ini sering disebut dengan kausa materialis nilai-nilai Pancasila.

1.3  Sejarah Singkat Terbentuknya Pancasila
Sebelum tanggal 17 Agustus bangsa Indonesia belum merdeka, bangsa Indonesia dijajah oleh banyak bangsa. Banyak bangsa-bangsa lain yang menjajah atau berkuasa di Indonesia, misalnya bangsa Belanda, Portugis, Inggris, dan Jepang. Paling lama menjajah adalah bangsa Belanda. Padahal sebelum kedatangan penjajah bangsa asing tersebut, di wilayah negara RI terdapat kerajaan-kerajaan besar yang merdeka, misalnya Sriwijaya, Majapahit, Demak, Mataram, Ternate, dan Tidore. Terhadap penjajahan tersebut, bangsa Indonesia selalu melakukan perlawanan dalam bentuk perjuangan bersenjata maupun politik. Perjuangan bersenjata bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah, dalam hal ini Belanda, sampai dengan tahun 1908 boleh dikatakan selalu mengalami kegagalan.
Penjajahan Belanda berakhir pada tahun 1942, tepatnya tanggal 8 Maret. Sejak saat itu Indonesia diduduki oleh bala tentara Jepang. Namun Jepang tidak terlalu lama menduduki Indonesia. Mulai tahun 1944, tentara Jepang mulai kalah dalam melawan tentara Sekutu. Untuk menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia membantu Jepang dalam melawan tentara Sekutu, Jepang memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari. Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura). Dalam maklumat itu sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia.
Keanggotaan BPUPKI dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 dan mengadakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 – 1 Juni 1945. Dalam sidang pertama ini yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar negara untuk Indonesia merdeka nanti. Pada sidang pertama itu, banyak anggota yang berbicara, dua di antaranya adalah Muhammad Yamin dan Bung Karno, yang masing-masing mengusulkan calon dasar negara untuk Indonesia merdeka, yaitu:

1.                  Negara berdasarkan peri kebangsaan
2.                  Negara berdasarkan peri kemanusiaan
3.                  Negara berdasarkan peri ketuhanan
4.                  Negara berdasarkan peri kerakyatan
5.                  Negara berdasarkan peri kesejahteraan dan rakyat

Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usulan secara tertulis yang juga terdiri atas lima hal, yaitu:
1.                  Ketuhanan Yang Maha Esa
2.                  Persatuan Indonesia
3.                  Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
4.                  Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan
5.                  Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Pada tanggal 31 Mei 1945 Prof.Dr. Supomo mengajukan pokok-pokok pikiran yang tidak jauh berbeda seperti berikut:
1.                  Negara Indonesia Merdeka hendaknya merupakan Negara Nasional  yang bersatu dalam arti totaliter atau integralistik.
2.                  Setiap warganya dianjurkan agar takluk kepada tuhan, tetapi urusan agama hendaknya terpisah dari urusan negara dan diserahkan kepada golongan-golongan agama yang bersangkutan.
3.                  Dalam susunan pemerintahan negara harus dibentuk suatu Badan Permusyawaratan, agar pemimpin negara dapat bersatu jiwa dengan wakil-wakil rakyat secara terus-menerus.
4.                  Sistem ekonomi Indonesia hendaknya diatur berdasarkan asas kekeluargaan, system tolong-menolong dan system kooperasi.
5.                  Negara Indonesia yang berdasar atas semangat kebudayaan Indonesia  yang asli, dengan sendirinya akan bersifat negara Asia Timur Raya.

Prof. Supomo dengan tegas menolak aliran individualisme dan liberalisme maupun teori kelas ajaran Marx, dan Lenin, sebagai dasar Indonesia Merdeka, dan menandaskan bahwa politik pembangunan negara harus disesuaikan dengan susunan masyarakat Indonesia. Maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staaside) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun. Dalam pengertian ini menurut teori ini yang sesuai dengan semangat Indonesia yang asli, negara tidak lain ialah seluruh rakyat sebgai persatuan yang teratur dan tersusun.
Kemudian pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mengajukan usulan mengenai calon dasar Negara yang terdiri dari lima hal, yaitu:
1.                  Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
2.                  Internasionalisme (Perikemanusiaan)
3.                  Mufakat atau Demokrasi
4.                  Kesejahteraan Sosial
5.                  Ketuhanan yang Berkebudayaan

Kelima hal diatas diberi nama Pancasila oleh Bung Karno. Lebih lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu:
1.                  Sosio Nasionalisme
2.                  Sosio Demokrasi
3.                  Ketuhanan
Ketiga hal tersebut ini juga dapat diperas menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong.
            Istilah “sila” itu sendiri dapat diartikan sebagai aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa. Kelakuan atau perbuatan yang menurut adab (sopan santun), dasar adab, akhlak, dan moral. Pancasila sebagai dasar negara pertama kali diusulkan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni  1945 dihadapan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Menurut beliau, istilah Pancasila tersebut diperoleh dari para sahabatnya yang merupakan ahli bahasa. Rumusan Pancasila yang dikemukakan tersebut terdiri atas :

1.                  Kebangsaan Indonesia
2.                  Internasional atau kemanusiaan
3.                  Mufakat atau demokrasi
4.                  Kesejaheraan sosial
5.                  Ketuhanan yang berkemanusiaan

Selesai sidang pertama, pada tanggal 1 Juni 1945 para anggota BPUPKI sepakat untuk membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan tanggal 20 Juni 1945. Berikut adalah daftar nama anggota panitia kecil BPUPKI tersebut:
·        Ir. Soekarno
·        Ki Bagus Hadikusumo
·        K.H Wachid Hasjim
·        Mr. Muh Yamin
·        M. Sutardjo Kartohadikusumo
·        Mr. A.A. Maramis
·        R. Otto Iskandar Dinata
·        Drs. Muh Hatta

Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil yang dicapai antara lain disetujuinya dibentuknya sebuah Panitia Kecil Penyelidik Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas beberapa orang, yaitu:
·        Ir. Soekarno
·        Drs. Muh Hatta
·        Mr. A.A. Maramis
·        K.H. Wachid Hasyim
·        Abdul Kahar Muzakkir
·        Abukusno Tjokrosujoso
·        H. Agus Salim
·        Mr. Ahmad Subardjo
·        Mr. Muh. Yamin

Tokoh-tokoh BPUPKI diatas tersebut yang diberi nama Panitia Sembilan mengadakan pertemuan untuk membahas pidato serta usulan-usulan mengenai dasar negara yang telah dikemukakan dalam sidang- sidang  BPUPKI. Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang itu pada tanggal 22 Juni melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”. Dalam pembahasan tersebut didalamnya terdapat rumusan dan sistematika Pancasila sebagai berikut :
1.                  Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.                  Kemanusiaan yang adil dan beradap
3.                  Persatuan Indonesia
4.                  Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.                  Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia


BAB II
MAKNA DARI LAMBANG PANCASILA

2.1 Makna Lambang Pancasila
Burung garuda merupakan mitos dalam mitologi Hindu dan Budha. Garuda dalam mitos tersebut digambarkan sebagai makhluk separuh burung (sayap, paruh, cakar) dan separuh manusia (tangan dan kaki). Lambang garuda diambil dari penggambaran kendaraan Batara Wisnu yakni garudeya. Garudeya itu sendiri dapat kita temui pada salah satu pahatan di Candi Kidal yang terletak di Kabupaten Malang tepatnya di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Garuda sebagai lambang negara menggambarkan kekuatan dan kekuasaan, warna emas melambangkan kejayaan. Karena peran garuda dalam cerita pewayangan Mahabharata dan Ramayana, maka Posisi kepala garuda menoleh ke kanan. Jumlah bulu melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), antara lain:
·        Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17
·        Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8
·        Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor berjumlah 19
·        Jumlah bulu di leher berjumlah 45

Pita yang dicengkeram oleh burung garuda bertuliskan semboyan negara Indonesia, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “Walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu” yang menggambarkan keadaan bangsa Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam suku, budaya, adat-istiadat dan kepercayaan, namun tetap satu bangsa, bahasa, dan tanah air.
Perisai merupakan lambang pertahanan negara Indonesia, gambar perisai tersebut dibagi menjadi lima bagian, bagian latar belakang dibagi menjadi empat dengan warna merah putih yang melambangkan warna bendera nasional Indonesia (merah berarti berani dan putih berarti suci), dan sebuah perisai kecil miniatur dari perisai yang besar berwarna hitam berada tepat di tengah-tengah. Garis lurus horizontal yang membagi perisai tersebut menggambarkan garis khatulistiwa yang tepat melintasi Indonesia di tengah-tengah. Setiap gambar yang terdapat pada perisai tersebut berhubungan dengan simbol-simbol dari sila Pancasila, yaitu:


1.      Bintang Lima (Sila ke-1: Ketuhanan Yang Maha Esa)
Perisai hitam dengan sebuah bintang emas berkepala lima menggambarkan lima agama di Indonesia, yaitu Islam, Kristen Katholik, Kristen Protestan, Hindu dan Buddha.
2.      Rantai Emas (Sila ke-2: Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab)
Rantai yang tersusun atas gelang-gelang kecil ini menandakan hubungan manusia antara satu dengan yang lain yang saling berhubungan.
3.      Pohon Beringin (Sila ke-3: Persatuan Indonesia)
Pohon beringin adalah sebuah pohon yang memiliki banyak akar yang menggelantung dari ranting-rantingnya. Hal ini menggambarkan Indonesia sebagai negara kesatuan yang memiliki berbagai budaya yang berbeda-beda.
4.      Kepala Banteng (Sila ke-4: Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan)
Banteng adalah binatang sosial, sama halnya dengan manusia. Cetusan Presiden Soekarno dimana pengambilan keputusan yang dilakukan bersama (musyawarah), gotong-royong, dan kekeluargaan merupakan nilai-nilai khas bangsa Indonesia.
5.      Padi dan Kapas (Sila ke-5: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia)
Padi dan kapas yang menggambarkan sandang dan pangan merupakan kebutuhan pokok setiap masyarakat Indonesia tanpa melihat status maupun kedudukannya. Hal ini menggambarkan persamaan sosial dimana tidak adanya kesenjangan sosial antara yang satu dengan yang lainnya, namun hal ini bukan berarti bahwa negara Indonesia menggunakan ideologi komunisme.

BAB III
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN
IDEOLOGI TERBUKA

3.1  Ideologi
3.1.1 Pengertian Ideologi
Secara Etimologis, ideologi berasal dari bahasa Yunani yaitu eidos dan logos. Eidos berarti gagasan dan logos berarti berbicara (ilmu). Makna secara etimologis ideologi adalah berbicara tentang gagasan/ilmu yang mempelajari tentang gagasan. Gagasan yang dimaksud adalah gagasan yang murni ada dan menjadi  landasan atau pedoman dalam kehidupan masyarakat yang ada atau berdomisili dalam wilayah negara dimana mereka berada.
3.1.2  Definisi Ideologi
Dalam beberapa kamus atau referensi, dapat terlihat bahwa definisi ideologi ada beberapa macam. Keanekaragaman definisi ini sangat di pengaruhi oleh latar belakang keahlian dan fungsi lembaga yang memberi definisi tersebut. Keanekaragaman yang dimaksud antara lain terlihat pada definisi berikut :
·        Definisi  Ideologi menurut BP-7 Pusat (kini telah dilikuidasi). Ideologi adalah ajaran, doktrin, teori yang diyakini kebenarannya yang disusun secara sistematis dan diberi petunjuk pelaksanaan dalam menanggapidan menyeleseikan masalah yang dihadapi oleh masyarakat, berbangsa dan bernegara.

·        Definisi yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Maswadi Rauf, ahli Politik Universitas Indonesia. Ideologi adalah rangkaian (kumpulan) nilai yang disepakati bersama untuk menjadi landasan atau pedoman dalam mencapai tujuan atau kesejahteraan bersama.
Ada banyak pengertian ideologi, Soesanto Darmo Soegondo (1983:42) mengumpulkan beberapa pengertian ideologi sebagai berikut:
·        Webster Dictionary: “A system of ideas concerning phenomena, especially those of social life; the manner of thinking characteristic of a class or an individual.”
·        Henry D. Aiken (The Age of Ideology): “Ideology means ideal or abstract speculation and visionary theorizing.”
·        William James (Varieties of Religious Experience): “Ideology is a man’s total view or thought about life.”
·        W. White (Political Dictionary): “The sum of political ideas or doctrines of distinguishable class or group of people.”
·        Harold H. Titus (The Living Issues of Philosophy): “A term use for any group of ideas concerning various political and economical issues and social philosophies; often applied to a systematic scheme of ideas held by groups or classes. The term ‘ism’ sometimes use for these systems of thought.”
Sedangkan Kirdi Dipoyudo (1979:9) cenderung memandang ideologi sebagai “kesatuan gagasan-gagasan dasar yang sistematis dan menyeluruh tentang manusia dan kehidupannya, baik individual maupun sosial, termasuk kehidupan negara.”

3.2      Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah Pancasila sebagai cita-cita negara atau cita-cita yang menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa Indonesia, serta menjadi tujuan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia.
Berdasarkan Tap. MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR tentang P4, ditegaskan bahwa Pancasila adalah dasar NKRI yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

3.3      Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
Sebuah negara memerlukan ideologi untuk menjalankan setiap pemerintahan yang ada pada negara tersebut. Dan pancasila merupakan ideologi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri dan tentu saja tidak ada negara lain yang memiliki ideologi yang sama dengan negara Indonesia. Pancasila dijadikan cita-cita bagi rakyat dan keseluruhan bangsa Indonesia dan juga menjadi tujuan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Ideologi dapat ditentukan oleh setiap masing-masing negara. Dan Indonesia sendiri memilih Pancasila sebagai ideologi bangsa karena kelima sila dalam Pancasila dipandang baik dan cocok dengan bangsa Indonesia. Setiap sila menggambarkan bangsa Indonesia yang memiliki keanekaragaman agama dan suku. Dan negara Indonesia juga merupakan sebuah Negara yang terbuka dan demokratis. Pada suatu negara demokratis setiap masyarakatnya dapat mengutarakan aspirasinya untuk merubah sesuai dengan keinginan mereka atau memberikan suara mereka. Hal ini dapat dilihat dalam keseharian atau kebiasaan hidup bangsa Indonesia. Untuk mewujudkan hal-hal yang menjadi isi dari pada Pancasila tersebut kita diharapkan untuk bisa mempertahankan dan mengamalkan dalam berbagai bidang meliputi pemerintahan, kehidupan masyarakat dan dalam bidang pendidikan.
                                                                               
BAB IV
FUNGSI-FUNGSI PANCASILA
                                                          
4.1  Fungsi-Fungsi Pancasila
Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945. Fungsi pokok Pancasila adalah sebagai Dasar Negara. Selain fungsi pokok tersebut, masih ada fungsi lainnya yaitu :
1.      Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia. Ideologi berasal dari kata “Idea” yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita – cita dan logos berarti ilmu. Jadi Ideologi dapat diartikan sebagai Ilmu tentang ide atau gagasan yang bersifat mendasar. Ideologi ialah seperangkat nilai yang diyakini kebenarannya oleh suatu bangsa dan digunakan untuk menata masyarakatnya. Pancasila sebagai ideologi nasional merupakan kumpulan nilai yang diyakini kebenarannya oleh Bangsa Indonesia dan digunakan untuk menata
masyarakat.
2.      Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan pedoman bagi Bangsa Indonesia dalam mencapai kesejahteraannya lahir dan batin.
3.      Pancasila sebagai jiwa Bangsa Indonesia. Menurut Von Savigny bahwa setiap bangsa punya jiwanya masing-masing yang disebut Volkgeist, artinya Jiwa Rakyat atau Jiwa Bangsa. Pancasila sebagai jiwa Bangsa Indonesia lahir bersamaan dengan adanya Bangsa Indonesia sendiri yaitu sejak jaman dahulu kala. Menurut Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo bahwa Pancasila itu sendiri telah ada sejak adanya Bangsa Indonesia.
4.      Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia, artinya Pancasila lahir bersama dengan lahirnya Bangsa Indonesia dan merupakan ciri khas Bangsa Indonesia dalam sikap mental maupun tingkah lakunya sehingga dapat membedakannya dengan bangsa lain.
5.      Pancasila sebagai perjanjian luhur artinya Pancasila telah disepakati secara nasional sebagai dasar negara, pada tanggal 18 Agustus 1945 melalui sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

6.      Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum artinya segala peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia harus bersumberkan Pancasila atau tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
7.      Pancasila sebagai cita-cita dan tujuan yang ingin dicapai Bangsa Indonesia, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata secara materiil maupun spiritual, berdasarkan Pancasila.
8.      Pancasila sebagai falsafah hidup yang mempersatukan Bangsa Indonesia. Pancasila merupakan sarana yang ampuh untuk mempersatukan Bangsa Indonesia. Karena Pancasila adalah palsafah hidup dan kepribadian Bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang oleh Bangsa Indonesia diyakini paling benar, adil, bijaksana dan tepat untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia.